Month: November 2013

Istiqomah dalam Tujuan Hidup

Ditulis oleh: Saleha Juliandi

Waktu mahasiswa dan sebelum menikah dengannya dulu, saya pernah bertanya begini padanya,

“Nanti setelah lulus, mau kerja apa?”

“Dosen,” begitu jawabnya.

Ternyata benar. Setelah lulus dan menikahi saya, dia langsung mengabdi sebagai dosen, walaupun dimulai sebagai dosen honorer.

Selama 7 tahun suami menjadi dosen honorer di IPB. Kalau boleh jujur, tujuh tahun adalah waktu yg cukup panjang bagi kami bertahan dalam keterbatasaan. Saya dan keluarga besar sempat meminta suami mencari pekerjaan di tempat lain yg “lebih menjanjikan”. Tapi, suami tetap saja menunggu kesempatan agar bisa menjadi dosen PNS seutuhnya sambil ngobyek sana sini agar dapur tetap tercukupi. Alhamdulillah, setelah menunggu cukup lama, peluang menjadi dosen PNS pun terbuka.

Namun, sesaat setelah mjd CPNS, ternyata suami mendapat beasiswa kuliah ke Jepang. Alhamdulillah, kuliah suami di Jepang berjalan lancar dan langsung diminta bekerja sebagai peneliti di negara maju ini.

Setelah mendiskusikan permintaan tersebut dengan saya, akhirnya kami memutuskan mengambil permintaan itu. Selain ingin menambah pengalaman bekerja dan belajar di negera maju, juga karena fasilitas yg ditawarkan cukup menggiurkan.

Tahun pertama, kedua, ketiga, kontrak kerja suami di Jepang selalu saja diperpanjang. Yang tadinya suami hanya berencana bekerja satu tahun, akhirnya mencapai tiga tahun. Setiap suami menyinggung akan mengakhiri kontrak kerjanya, selalu saja tidak disetujui oleh atasannya. Sementara, dalam waktu yg sama, IPB meminta suami segera kembali ke tanah air, untuk memberikan kontribusinya.

“Tidak, tidak. Kami memerlukan kamu di sini. Jika perlu, menetap saja kamu sekeluarga di Jepang untuk selamanya,” kata profesor tersebut, setiap suami menyinggung tentang keinginannya untuk mengakhiri kontrak kerjanya di Jepang.

“Terimakasih atas apresiasinya, Sensei. Tapi saya tidak mungkin menetap di sini selamanya. Karena saya punya tugas mengajar dan meneliti di Indonesia.” Selalu begitu jawaban suami setiap profesor tsb menolaknya.

Berbagai pertimbangan pun kami diskusikan lagi. Tawaran bekerja di Jepang terus terang sangat menggoda. Saya sempat membujuk suami untuk meninggalkan pekerjaannya di Indonesia sebagai dosen PNS dan bekerja serta menetap di Jepang saja. Toh, berkarya untuk bangsa bisa dilakukan dari mana saja. Pun, dapat dilakukan dari Jepang.

Tapi, ternyata suami tidak setuju dengan pendapat saya.

“Enggak, Bunda. Bagi mereka yang belum memiliki kesempatan kerja di Indonesia, mungkin bisa seperti itu. Tapi kesempatan aku bekerja di Indonesia ada. Bahkan sudah sangat terbuka lebar. Ya… walaupun fasilitasnya nggak sama dengan di sini (Jepang). Tapi insyaAllah, Allah akan mengatur dan mencukupkan semuanya. Tidak baik meninggalkan negeri yg sudah mengantarkan kita sampai sini.”

Akhirnya, beberapa bulan yang lalu, permohonan penghentian kontrak kerja KEMBALI suami ajukan.

Tapi sayang, tanggapan profesor tersebut tetap sama. Tidak menyetujuinya.

Dan untuk ke sekian kalinya, akhirnya suami saya menjawab seperti ini:

“Until when, sensei? It has been so long i worked here. I really really have to back to my country now.”

Setelah proses tarik ulur yang cukup panjang bahkan berbulan2, akhirnya… profesor itu MENYETUJUINYA, walau teteepp..mengajukan berbagai syarat :).

“You know, i will miss you so much…” Begitulah kalimat terakhir yang keluar dari mulut profesor yang terkenal sangat “cuek” itu. Sampai suami sempat kaget mendengarnya:).

Terlepas dari kisah panjang kami di atas, ada satu hal penting yang benar-benar saya pelajari di sini, yaitu tentang KEISTIQOMAHAN DALAM TUJUAN HIDUP.

Walaupun harus menunggu hingga tujuh tahun dalam keterbatasan, walaupun harus ngobyek sana sini agar kebutuhan anak istri tercukupi, walaupun tawaran bekerja di Jepang yang memberikan fasilitas “lebih” terbuka lebar, tapi suami tetap ISTIQOMAH dengan tujuan hidupnya selama ini, yaitu ingin menjadi dosen dan bisa membagikan ilmunya kepada para mahasiswa di tanah air.

Tujuan yang teramat sederhana. Tapi, sudah menjadi cita-cita dan tujuan hidupnya selama ini. Sehingga, walaupun tantangan dan iming-iming menggiurkan datang silih berganti, dia TETAP SETIA menuju tujuannya.

Berbicara atau Berkomentarlah yang Baik atau Diam

Oleh: Ade Tuti Turistiati
Mari kita bandingkan 3 kalimat pertama dengan 3 kalimat berikutnya: …
1. Bu Marni itu cantik tapi sayang badannya gemuk.
2. Ustadz itu tausiyahnya bagus dan menyejukkan tapi sayang dia punya masa lalu yang kelam.
3. Anak kecil itu pintar tapi kadang susah diatur.
__
a. Bu Marni itu badannya gemuk tapi dia cantik
b. Ustadz itu punya masa lalu yang kelam tapi tausiyahnya bagus dan menyejukkan
c. Anak kecil itu kadang susah diatur tapi dia anak yang pintar
Saya yakin kita sependapat bahwa kalimat a, b, dan c cenderung bermakna atau mempunyai dampak positif. Jadi jika kita ingin menyampaikan suatu pernyataan lebih baik sampaikan terlebih dahulu apa yang kurang enak didengar atau cenderung negatif diiringi pernyataan positif bukan sebaliknya.
Dalam kehidupan dan pergaulan sehari-hari bisa jadi kita lebih banyak menggunakan kalimat dengan pola pertama, yaitu berkomentar atau menyampaikan pendapat kita tentang seseorang/sesuatu dengan pernyataan positif terlebih dahulu kemudian diikuti oleh informasi negatif. Kalimat atu pernyataan seperti ini menurut saya mempunyai kecenderungan orang lain atau teman bicara kita menjadi penasaran menggali hal-hal negatif tentang apa yang kita sampaikan. Lebih buruk lagi jika akhirnya kita jadi melupakan hal baiknya tentang orang yang kita bicarakan dan terjebak menggali kekurangan atau hal-hal yang negatifnya.
Pertanyaannya, seberapa penting dan bermanfaatnya informasi atau pernyataan negatif harus disampaikan mengiringi pernyataan positif ? Bisa jadi tidak penting dan tidak punya manfaat sama sekali.
Nah, kalau begitu kita bisa mengatakan pernyataan atau komentar kita cukup seperti ini:
A. Bu Marni itu cantik.
B. Ustadz itu tausiyahnya bagus dan menyejukkan.
C. Anak kecil itu pintar.
Atau kalau kita merasa tidak ada hal-hal yang baik dan bermanfaat untuk disampaikan lebih baik kita diam.