Ditulis Oleh: Ade Tuti Turistiati
Apakah Anda sedang merasa sebal, kesal, benci dengan seseorang?
Merasa dikhianati, dimanfaatkan (dalam konteks negatif)?
Terus Anda berpikir untuk membalas dendam atau dengan bahasa halusnya ingin memberi pelajaran pada orang yang menurut Anda sebagai biang keladinya. Tidak cukup berpikir dan berdialog dengan diri sendiri Anda pun berbagi perasaan dengan membuat status di FB yang ujungnya berbunyi : orang kaya begitu mesti diapain ya ?
Setelah status diposting berhamburanlah komentar dari FB friends Anda mulai dari yang isinya berempati, menasehati plus dalil, sampai yang ikut-ikutan merasa oh I know how you feel ! dan berujung memberi saran bagaimana melampiaskan balas dendam Anda.
Sebagai manusia wajarlah kalau kita merasa sebal, kesal, benci, illfeel, dan sejenisnya tapi bukankah kita selalu punya pilihan untuk menyikapi apa yang terjadi?
Misal Anda merasa dikhianati, dimanfaatkan, atau disakiti oleh seseorang. Pertanyaan kritisnya belum tentu orang tersebut bermaksud menyakiti Anda, bukan? Bisa jadi kita menangkapnya dengan perasaan berbeda. Kalau begitu sebenarnya kita sedang berurusan dengan perasaan kita bukan dengan orang yang menurut kita menyakiti kita. So, kita punya pilihan untuk berdamai dengan perasaan sendiri.
Perasaan sebal, kesal, benci Anda share di media sosial. Pertama, Anda berpotensi mengundang energi negatif berdatangan dari teman-teman Anda. Kedua, orang lain berpotensi menebak-nebak dan penasaran dengan orang yang Anda maksud terus menggali dan mencari-cari kesalahan orang tersebut. Ketiga, sebenarnya Anda sudah dapat mengira-ngira macam komentar apa yang Anda akan dapatkan. Keempat, bisa jadi ada orang yang merasa senang dengan kesusahan Anda dan alih-alih berempati dia malah berpikir bahwa Anda memang pantas diperlakukan demikian oleh orang tersebut siapapun dia. Kelima, hanya menunjukkan bahwa diri Anda lemah.
Ketika kita sedang berusaha untuk menjadi lebih baik, lebih sabar, lebih bijaksana bukankah Tuhan sering menguji kita. Salah satu ujiannya bisa melalui perilaku dari orang-orang yang dekat dengan kita. Tapi bukankah Tuhan juga selalu memberikan ujian dan cobaan tidak lebih dari kemampuan manusia?
So, dengan segala sikap dan perilaku orang kepada kita yang kita merasa kesal, sedih, sebal, benci, mual dan sejenisnya bagaimana kalau kita balas saja dengan menjadikan diri kita lebih baik, buktikan bahwa diri kita lebih kuat dan besar dibanding dengan masalah atau perasaan sakit dan sebal kita.
Orang bijak mengatakan bahwa cara terbaik untuk membalas dendam adalah memaafkan dan menjadikan diri kita lebih baik.
Category: Artikel dan Berita
Istiqomah dalam Tujuan Hidup
Ditulis oleh: Saleha Juliandi
Waktu mahasiswa dan sebelum menikah dengannya dulu, saya pernah bertanya begini padanya,
“Nanti setelah lulus, mau kerja apa?”
“Dosen,” begitu jawabnya.
Ternyata benar. Setelah lulus dan menikahi saya, dia langsung mengabdi sebagai dosen, walaupun dimulai sebagai dosen honorer.
Selama 7 tahun suami menjadi dosen honorer di IPB. Kalau boleh jujur, tujuh tahun adalah waktu yg cukup panjang bagi kami bertahan dalam keterbatasaan. Saya dan keluarga besar sempat meminta suami mencari pekerjaan di tempat lain yg “lebih menjanjikan”. Tapi, suami tetap saja menunggu kesempatan agar bisa menjadi dosen PNS seutuhnya sambil ngobyek sana sini agar dapur tetap tercukupi. Alhamdulillah, setelah menunggu cukup lama, peluang menjadi dosen PNS pun terbuka.
Namun, sesaat setelah mjd CPNS, ternyata suami mendapat beasiswa kuliah ke Jepang. Alhamdulillah, kuliah suami di Jepang berjalan lancar dan langsung diminta bekerja sebagai peneliti di negara maju ini.
Setelah mendiskusikan permintaan tersebut dengan saya, akhirnya kami memutuskan mengambil permintaan itu. Selain ingin menambah pengalaman bekerja dan belajar di negera maju, juga karena fasilitas yg ditawarkan cukup menggiurkan.
Tahun pertama, kedua, ketiga, kontrak kerja suami di Jepang selalu saja diperpanjang. Yang tadinya suami hanya berencana bekerja satu tahun, akhirnya mencapai tiga tahun. Setiap suami menyinggung akan mengakhiri kontrak kerjanya, selalu saja tidak disetujui oleh atasannya. Sementara, dalam waktu yg sama, IPB meminta suami segera kembali ke tanah air, untuk memberikan kontribusinya.
“Tidak, tidak. Kami memerlukan kamu di sini. Jika perlu, menetap saja kamu sekeluarga di Jepang untuk selamanya,” kata profesor tersebut, setiap suami menyinggung tentang keinginannya untuk mengakhiri kontrak kerjanya di Jepang.
“Terimakasih atas apresiasinya, Sensei. Tapi saya tidak mungkin menetap di sini selamanya. Karena saya punya tugas mengajar dan meneliti di Indonesia.” Selalu begitu jawaban suami setiap profesor tsb menolaknya.
Berbagai pertimbangan pun kami diskusikan lagi. Tawaran bekerja di Jepang terus terang sangat menggoda. Saya sempat membujuk suami untuk meninggalkan pekerjaannya di Indonesia sebagai dosen PNS dan bekerja serta menetap di Jepang saja. Toh, berkarya untuk bangsa bisa dilakukan dari mana saja. Pun, dapat dilakukan dari Jepang.
Tapi, ternyata suami tidak setuju dengan pendapat saya.
“Enggak, Bunda. Bagi mereka yang belum memiliki kesempatan kerja di Indonesia, mungkin bisa seperti itu. Tapi kesempatan aku bekerja di Indonesia ada. Bahkan sudah sangat terbuka lebar. Ya… walaupun fasilitasnya nggak sama dengan di sini (Jepang). Tapi insyaAllah, Allah akan mengatur dan mencukupkan semuanya. Tidak baik meninggalkan negeri yg sudah mengantarkan kita sampai sini.”
Akhirnya, beberapa bulan yang lalu, permohonan penghentian kontrak kerja KEMBALI suami ajukan.
Tapi sayang, tanggapan profesor tersebut tetap sama. Tidak menyetujuinya.
Dan untuk ke sekian kalinya, akhirnya suami saya menjawab seperti ini:
“Until when, sensei? It has been so long i worked here. I really really have to back to my country now.”
Setelah proses tarik ulur yang cukup panjang bahkan berbulan2, akhirnya… profesor itu MENYETUJUINYA, walau teteepp..mengajukan berbagai syarat :).
“You know, i will miss you so much…” Begitulah kalimat terakhir yang keluar dari mulut profesor yang terkenal sangat “cuek” itu. Sampai suami sempat kaget mendengarnya:).
—
Terlepas dari kisah panjang kami di atas, ada satu hal penting yang benar-benar saya pelajari di sini, yaitu tentang KEISTIQOMAHAN DALAM TUJUAN HIDUP.
Walaupun harus menunggu hingga tujuh tahun dalam keterbatasan, walaupun harus ngobyek sana sini agar kebutuhan anak istri tercukupi, walaupun tawaran bekerja di Jepang yang memberikan fasilitas “lebih” terbuka lebar, tapi suami tetap ISTIQOMAH dengan tujuan hidupnya selama ini, yaitu ingin menjadi dosen dan bisa membagikan ilmunya kepada para mahasiswa di tanah air.
Tujuan yang teramat sederhana. Tapi, sudah menjadi cita-cita dan tujuan hidupnya selama ini. Sehingga, walaupun tantangan dan iming-iming menggiurkan datang silih berganti, dia TETAP SETIA menuju tujuannya.
Berbicara atau Berkomentarlah yang Baik atau Diam
Oleh: Ade Tuti Turistiati
Mari kita bandingkan 3 kalimat pertama dengan 3 kalimat berikutnya: …
1. Bu Marni itu cantik tapi sayang badannya gemuk.
2. Ustadz itu tausiyahnya bagus dan menyejukkan tapi sayang dia punya masa lalu yang kelam.
3. Anak kecil itu pintar tapi kadang susah diatur.
__
a. Bu Marni itu badannya gemuk tapi dia cantik
b. Ustadz itu punya masa lalu yang kelam tapi tausiyahnya bagus dan menyejukkan
c. Anak kecil itu kadang susah diatur tapi dia anak yang pintar
Saya yakin kita sependapat bahwa kalimat a, b, dan c cenderung bermakna atau mempunyai dampak positif. Jadi jika kita ingin menyampaikan suatu pernyataan lebih baik sampaikan terlebih dahulu apa yang kurang enak didengar atau cenderung negatif diiringi pernyataan positif bukan sebaliknya.
Dalam kehidupan dan pergaulan sehari-hari bisa jadi kita lebih banyak menggunakan kalimat dengan pola pertama, yaitu berkomentar atau menyampaikan pendapat kita tentang seseorang/sesuatu dengan pernyataan positif terlebih dahulu kemudian diikuti oleh informasi negatif. Kalimat atu pernyataan seperti ini menurut saya mempunyai kecenderungan orang lain atau teman bicara kita menjadi penasaran menggali hal-hal negatif tentang apa yang kita sampaikan. Lebih buruk lagi jika akhirnya kita jadi melupakan hal baiknya tentang orang yang kita bicarakan dan terjebak menggali kekurangan atau hal-hal yang negatifnya.
Pertanyaannya, seberapa penting dan bermanfaatnya informasi atau pernyataan negatif harus disampaikan mengiringi pernyataan positif ? Bisa jadi tidak penting dan tidak punya manfaat sama sekali.
Nah, kalau begitu kita bisa mengatakan pernyataan atau komentar kita cukup seperti ini:
A. Bu Marni itu cantik.
B. Ustadz itu tausiyahnya bagus dan menyejukkan.
C. Anak kecil itu pintar.
Atau kalau kita merasa tidak ada hal-hal yang baik dan bermanfaat untuk disampaikan lebih baik kita diam.
Molly Bondan (Penerjemah Pidato Presiden Soekarno), Menulis Sampai Akhir Hayat
Oleh Ade Tuti Turistiati, Nara Sumber : Alit Bondan
Posisi penerjemah bisa jadi kurang populer karena dia sering berada di balik layar. Namun demikian, kedudukan penerjemah menjadi sangat penting karena dia harus dapat mengungkapkan apa yang tersurat dan yang tersirat dalam suatu tulisan dengan baik dan benar sehingga apa yang ingin disampaikan dapat dipahami oleh orang lain yang membaca atau mendengarkan terjemahannya.
Adalah Molly Bondan, penerjemah pidato presiden Soekarno yang mungkin namanya sangat jarang kita dengar. Beliau memegang peranan penting dalam memberikan pemahaman atas tulisan-tulisan dan pidato-pidato presiden Soekarno yang diterjemahkan dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris untuk konsumsi para diplomat dan wartawan asing, tamu negara, dan lain-lain pada waktu itu.
Molly Bondan yang lahir dengan nama gadis Marry Alithea Warner di Auckland, Selandia Baru pada tanggal 9 Januari 1912 adalah istri Mohamad Bondan, salah satu perintis kemerdekaan Republik Indonesia yang dibuang oleh Belanda ke Boven Digul bersama-sama rombongan Bung Hatta dari Tahun 1934 sampai 1943. Ketika Jepang menyerbu Indonesia, Bung Hatta kembali ke Jawa dan Mohamad Bondan dilarikan ke Australia. Di sanalah mereka bertemu dan menikah pada tahun 1946. Pada tahun 1947, keluarga Mohamad Bondan kembali ke Indonesia dan Molly Bondan aktif bekerja sebagai penyiar di RRI, menulis dan mengajar Bahasa Inggris. Karena kedekatan Mohamad Bondan dengan Bung Hatta, Bung Karno sedikit demi sedikit mengenal nama Molly Bondan sehingga pada akhirnya Molly dipercaya untuk menerjemahkan pidato-pidato kenegaraannya ke dalam Bahasa Inggris, terutama pidato-pidato pada peringatan 17 Agustus sejak Tahun 1950 s/d 1966.
Judul Pidato peringatan hari Kemerdekaan 17 Agustus dari Bung Karno yang diterjemahkan Molly Bondan adalah: Dari Sabang sampai Merauke (1950), Capailah Tata Tenteram Kerta Raharja (1951), Harapan dan Keyataan (1952), Jadilah Alat Sejarah (1953), Berirama dengan Kodrat (1954), Tetap Terbanglah Rajawali (1955), Berilah Isi kepada Hidupmu (1956), Satu Tahun Ketentuan (1958), Tahun Tantangan (1958), Penemuan Kembali Revolusi Kita (1959), Laksana Malaikat yang Menyerbu dari Langit, Jalannya Revolusi Kita atau JAREK (1960), Resopim (1961), Tahun Kemenangan atau TAKEM (1962), Genta Suara Republik Indonesia atau GESURI (1963), Tahun Vivere Pericoloso atau TAVIP (1964), Capailah Bintang-Bintang di Langit (1965), dan Jangan Sekali-kali meninggalkan Sejarah (1966).
Molly Bondan juga aktif dalam konferensi-konferensi Internasional sebagai staf Sekretariat dengan tugas menerjemahkan dan mengurus pidato-pidato para delegasi, antara lain dalam Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955 dan konferensi Colombo Plan ke-11 di Jogyakarta pada tahun 1959. Bahan kuliah Bung Karno mengenai Marhaenisme yang berjudul Shaping and Reshaping Indonesia, yang dipaparkannya pada tanggal 3 Juli 1957 untuk memperingati 30 Tahun berdirinya Partai Nasional Indonesia juga disusun dengan bantuan Molly Bondan. Pidato Bung Karno di PBB tahun 1958 dengan judul To Build The World A New , juga tak lepas dari sentuhan Molly Bondan.
Dengan sang suami Molly menerbitkan buletin bulanan Indonesia Current Affairs, Translation Service Bulletin setebal 90 halaman, yang diterjemahkan dari berita-berita koran yang terdiri dari berita politik, ekonomi, sosial, budaya dan hankam. Untuk pembuatan buletin tersebut Mohamad Bondan harus membaca tidak kurang dari 13 koran setiap hari, kecuali Minggu, guna memilih berita-berita yang merefleksikan Indonesia. Tugas Molly Bondan menterjemahkannya ke dalam bahasa Inggris. Buletin ini ditujukan untuk kedutaan-kedutaan asing di Jakarta dan banyak dimanfaatkan oleh universitas-universitas luar negeri yang mempunyai kajian mengenai Indonesia.
Kesehatan Mohomad Bondan mulai menurun pada tahun 1975. Berhubung tidak ada penggantinya, buletin terpaksa ditutup pada bulan Desember 1976. Molly juga menulis di beberapa koran, seperti Harian Kami (1968), antara lain mengenai Pancasila. Molly menyadari bahwa masyarakat Indonesia membutuhkan banyak ide-ide mengenai kemanusiaan dan keadilan sosial yang telah ada di barat sejak abad ke 17. Untuk itu Molly menulis di Kompas sebanyak 11 artikel berseri mengenai ide-idenya selama tahun 1979. Molly Bondan yang telah mengabdikan hidupnya pada Negara Republik Indonesia wafat pada tanggal 6 Januari 1990 karena penyakit kanker yang dideritanya, tiga hari sebelum ulang tahunnya yang ke 78 dan dimakamkan di Tanah Kusir Jakarta Selatan. Tulisan-tulisannya dalam bahasa Inggris mengenai kebudayaan Indonesia yang ditik dengan mesin tik manual sebanyak 250 halaman masih tersimpan rapi di rumah putra tunggalnya, Alit Bondan. Salah satu topik tulisan almarhum mengenai kebudayaan Indonesia adalah Island of Golden Heritages : Indonesia.
Semua penulis akan mati. Hanya karyanyalah yang akan abadi. Maka tulislah sesuatu yang membahagiakan dirimu di akhirat nanti” (Ali bin Abi Thalib)
Islands of the Golden Heritage : INDONESIA
By Molly Bondan
Once there was a land that reached down from Asia to the north of Australia, sometimes stretching further south and west, sometimes broken up as the earths crust crumpled and land masses slowly shifted and were weathered away and broken down in the inexorable march of time. When Europe lay cold in wastes of ice, scoured by glaciers, what was left of that old land lay steaming in tropical down-pours, with great river valleys running east and north into the China Sea. Into these rivers the waters flowed as the great ice sheets melted and the islands of Indonesia were formed much as we know them today.
Even then, the land was inhabited. Pithecanthropus erectus, one of the earliest creatures to qualify as a man, inhabited an area in what is now Java and left his bones behind by a tributary of Bengawan Solo, which probably, in his day, joined the great river draining the land now under the Java Sea. We do not know what his relations might have been with the still older ancestors of modern man that have been found in Africa, or with his approximate contemporaries around Peking.
Between his time and ours, many cataclysms have rent the land. It is only the great ice melting that raises the seas 100 meters higher. Indonesia has been torn and scored in the holocausts of great volcanic eruptions that must have made the shattering roars and the tremendous waves of Tambor and Krakatau seems small indeed.
What became of Pithecanthropus erectus the almost man, the more than ape that walked erect on Indonesian soil three-quarters of a million years ago, this we do not know. Nor was he the only one. Meganthropus was a veritable giant, with a huge molar tooth and a shin bone showing he must have been eight feet tall. There was also Mojokerto Man and Ngandong Man and there was Wajak Man, who may have fathered the true line of descent to Homo sapiens, and who perhaps has relatives in the Australian aborigines.
About four thousand years from our own day, there was a sudden cultured change and the Bronze Age appeared, very well-developed it seems when it first came to Indonesian shores. Dongson, on the banks of the great Mekong River, not far from Luangprabang in modern Laos, is believed to be the cradle of the bronze culture for the whole of South East Asian, Indonesia included.
How this culture was transmitted is by no means clear. Skills may have been brought home by the seafaring peoples of the Indonesian islands of that time. It seems there was no great change in the languages of the earlier inhabitants of Indonesia, for there is no mark of the continental languages of that time in the tongues of today. But there may well have been a slow migration of peoples who assimilated with the local population, being in much smaller numbers. The different styles in the artifacts from this period indicate diversity; some seem to be indigenous; some are clearly Chinese, some appear even to have originated in the Indus Valley civilization, the towns of which were sacked at the beginning of this period by the onslaughts of the incoming Aryans.
Then, in the late Bronze Age, iron appears, applied on bronze as a cutting edge, or used as a precious metal for ornament and jewelry. The Indonesians of this culture produced some of the most remarkable craftsmen in metal the world have ever seen. They made moulds from stone, they made them from clay and used the lost wax processed, they engraved and embossed, they made alloys and knew how to apply one metal upon another. They produced huge kettledrums for the religious rites, the most renowned of which, being the largest kettledrum in the world, is still to be seen in Bali, where it is venerated as having fallen from the moon.
From this time onwards, it is possible to speak indubitably of a distinctive art and craft, of the appearance of a character in things that is typical of Indonesia and is not known on mainland Asia. Undoubtedly, we have here some first elements of nation building. And side by side with this, there is evidence enough of the diversity that was to mark Indonesia ever since.
Two types of agricultural pattern prevailed. One was a migratory clan or tribe, living in a long house, so constructed it could be taken apart, removed and then put up again. The clan lived from rain-fed fields, and removed to another site when crops no longer flourished. The second type irrigated its fields and built close together.
Both ways of life needed constant cooperation and mutual help and attitudes of fellowship began to produce recognized systems of the joint hearing of burdens and the common sharing of what was produced.
The beginnings of Indonesian history or written records seem to come very late. Non Indonesian records.
Perhaps the classical beginning of writing in the need for record keeping did not occur until later. If the people did not think of land and natural wealth as private property but as a loan from the Creator to community or clan with perceptual continuity from one generation to another, perhaps they did not feel the need for records. If there were no priests to collect temple dues, and no temples, either just sage elders able to call up the soul of the ancestors, conjure their shadows to appear at night and speak with their voices, here would be no need for temple records either. If there were no kings over large areas and demanding payment for their regulating, but only a man wise in agriculture to lead the planting, another knowledgeable in ship building to tell the rest of the community how to go about putting up their houses, then there would be no need for writing either.
But at least when kings and dynasties and monks and temples both seem in the land, writing appears in Indonesia on monumental stones.
Tarumnagera and possible predecessor in Java, and Sriwijaya in Sumatra
There never may have been a time when the peoples of the Indonesian archipelago did not trade from island to island and from island to mainland. Han dynasty ceramics from the first, second and third centuries of the Christian era have been found with later Chinese ceramics from many parts of the country, notable the large islands of Sumatra, Java, Sulawesi as well as from the Moluccas. Fine muslins from India, silk from Japan, perhaps as well as China, these may well have been among the earliest imports. About the exports, there is no doubt whatever spices and sandalwood, ivory and ebony and other precious timbers, gold and silver and precious stones, cockatoos and orangutan, all the small but costly ingredients that developed into the Asian Trade.
The trade winds, the Spice Islands, antimacassars, gutta percha
The great empires of Indonesia grew up amidst the great international concourse of people and the Asia trade, though we know of the process mainly through legend. A century or so after Fa Hshiens visit and the writing of inscription on the Kutai and Tarumanagera stones, at the time when France was being shaped by Clovis of the Franks and the Toltecs ruled in Mexico, kingdoms began to arise in Sumatra and Java that would produce the two great nation states of Sriwijaya and Mojopahit.
For a thousand years from the beginning of the sixth century of the Christian era, one or other of these great empires, sometimes both, were major powers in South East Asia, their courts frequented by foreign embassies, their colleges acknowledged for their learning, their commercial connections and their political influence far reaching.
Of course, these were not empires in the modern sense with the fast-tied bonds of the imperial hegemonies of the nineteenth and early twentieth centuries. The Indonesian empires belonged to a day before such close knit structures were possible. Nor does it appear that day were based upon military might as with the Roman empire of the Mediterranean world. Probably they arose directly and simply out of the trade relations of great maritime states.
Legend tells of a magic light on Siguntang Mahameru, Great Mount of the Gods, with the paddy grain gold on it next morning with silver leaves and copper stalks gold inlaid. Three mystics youths were discovered by two women on the top of that hill, the middle one clad in a kings rich gown and seated on an ox so white it gleamed. He was Sang Suparba, who claimed descent from the great Iskandar, known to Europe as Alexander of Macedon, and from this youth a dynasty of kings was founded who ruled mighty Sriwijaya.
A part from legend, not much is known about the beginnings of Sriwijaya. If it is the same as the realm the Chinese recorded as Kan-to-li, then it was already sending delegations to the courts of China between 452 and 563 A.D. By the seventh century, records tell of monasteries to house a thousand monks and a great center of Buddhist learning and scholarship where people came from Eastern Asia to study languages and religion before journeying on to the holy places of the Lord Gautama in India.
The records made by Chinese scholars, some foundations on islands in an artificial lakes, many shards of Chinese ceramics, one or two inscriptions, an 11th century temple complex at Muara Takus in inland Riau, a fierce punitive raid by the Kingdom of Chola in Southern India to stop expansion. These and the golden glow of legend are almost all that we know of ancient Sriwijaya.
The Empire of Mojopahit that was centered on Mojokerto in East Java was preceded by a number of different kingdoms. Tarumanegara we know of and its possible predecessors; the early seventh century builders of the temples and courts of Dieng must have been at least a local power in their day; then came Matararam, which was Hindu, like Dien though Buddhist temples, including the great Borobudur, flourished in its midst in a way we do not fully understand. But fate overtook Mataram, almost certainly in the form of a tremendous explosion from Mount Merapi that poured ash upon the countryside until it lay meters deep and the people had to flee.
In East Java, the center of power shifted from Malang to Kediri, from Kediri to Singosari and from Singosari to near Mojokerto, where they remains of the capital of the Empire of Mojopahit can still be seen. From the founding of the Isana Dynasty under Mpu Sendok in 1928 A.D. to the formation of Mojopahit in 1293, there was much political turmoil, involving conflict with Sriwijaya in Sumatra as well, but there was a deal of cultural progress. Or is it simply that from this time onward we have some record in Old Javanese language written on palm leaves, not merely stone inscription?
Kertanegara of Singosari made a conscious attempt to unite the whole of the Indonesia archipelago in a single strong state, being faced by the expansionism of Kublai Khan, the Mongol who had China in his grasp. But Kertanegara was slain in a Palace revolt and it was left to his son in law to defeat the troops of Kublai Kahn and set up a new kingdom, Mojopahit, from which the dream of unity was carried forward.
Gajah Mada, Hayam Wuruk, Aditiawarman
These thousand years of the two great Indonesian empires was a period in which there flowered one of the worlds great civilizations and at the height of Mojopahits power and glory in the fourteenth cent Indonesia was one of the great powers of the world. The fourteenth century marked the beginning many changes in Europa as well as Asia. It was the time of the Great Schism, the preaching of Wycloffe and Huss and the Papal Court in Avignon; it was the time of the Black Death and the Great Fire of London and it the time of Wat Tylers Peasants Revolt. In China, the Mongol dynasty was at least evicted and the House of Ming was founded. In India, the Sultanate of Delhi broke up into many small kingdoms. The Moslem kingdoms in Iran and Mesopotamia were destroyed by Timurlane, whose empire making activities left little but destruction and terror behind him, though they stretched from Delhi to Smyrna. The Moslem hold on Spain was also under pressure and the old militancy of Islam seemed gone forever.
But as Mojopahit was weakened from within by palace conflicts, Islam took hold in Indonesia. Possible from the 11th century, Islam had been known, possibly mainly in the communities that traded up the Straits of Malacca, across the Bay of Bengal, around the southern foot of India, up into the Gulf of Persia and into the heart of the Arab world. In the fifteenth century Islam became militant of Java, and coastal Islamic stated were set up with Demak of north central Java the most famous of them. It seems that Islam supplied a new dynamism, a more democratic way of life that confronted and overcame the slow decadence that had crept into Hinduism in Indonesia with its castes and hierarchy of power.
When in 1453 the Ottoman Turks took Constantinople, they blocked the ancient land route from Asia to Europe at the Bosporus, and the Turks and Moors sealed off Christendom from the spices and all the silk and exotic goods from the East. So Europe ventured far to find another way to the islands where the spices grew that preserved foods and drink in the days before refrigeration was mechanized. Diaz rounded the Cape of Good Hope, Vasco da Gama found his way to India. Portugal and Spain were foremost among Europas adventurous, rivals and at war with each other. In their wake there came the Dutch and the British and the French. And there was black hatred between Catholic and Protestant in those days and bigoted narrow mindedness for other ways, other faiths, and other peoples.
Bagaimana Sih Menulis Ala 'Chicken Soup'?
Sebenarnya, istilah chicken soup berasal dari judul buku yang dulu pernah meledak sekitar tahun 90-an. Buku tersebut mempunyai beberapa seri, salah satunya adalah Chicken Soup for The Couple’s Soul. Buku itu mengangkat kisah cinta dari pasangan-pasangan yang saling mencintai (antara laki-laki dan perempuan). Buku tersebut sangat inspiratif, sehingga mampu membuat para pembacanya berlinang air mata dan mengingat setiap kisah yang disuguhkannya.
Berikut saya share tips singkat menulis ala chicken soup:
1. Ambillah hanya 1 kejadian kecil yang SPESIFIK di antara perjalanan panjang pernihakan atau jalinan yang pernah ada. Contoh: kejadian saat suami mengirim surat cinta, saat istri setia membuatkan surprise party, dll.
2. Hindarilah pengisahan cinta yang terlalu UNIVERSAL. Contoh: “Ayah dan ibu sangat saling mencintai. Mereka saling pengertian dan mendukung satu sama lain. Mereka saling mengisi dan berbagi dalam hidupnya”. Dalam contoh tersebut, tidak dikisahkan ”seperti apa sih?” dan ”bagaimana sih?” cara mereka mengungkapkan cinta, pengertian, serta dukungannya tersebut.
3. Hindarilah pengisahan cinta dari A hingga Z, misalkan dari pertemuan hingga perpisahan.
4. Gunakan kalimat yang mudah dimengerti, BUKAN menggunakan kalimat-kalimat puitis sehingga memerlukan ketrampilan khusus untuk memahaminya, sehingga semua kalangan bisa memahami naskah dengan mudah. Ingat, bahwa buku ini diperuntukkan untuk semua kalangan, bukan untuk para pujangga maupun puitisi.
5. Gunakan alur cerita yang tidak bertele-tele, namun mampu membuat para pembaca tersentuh hatinya.
6. Pilihlah cerita yang mampu menyampaikan HIKMAH dari kejadian itu, sehingga para pembaca dapat terINSPIRASI karena belajar dari kisah tersebut.
7. Sisipkan beberapa dialog pada naskah. Naskah dengan sisipan dialog akan lebih terasa “hidup”, sehingga pembaca tidak bosan dan mengantuk saat membacanya:)
Demikian tips singkat dari kami, semoga bermanfaat.