It's Crazy

Oleh: Erfani Tri Mardiani (FB: Erfani Tri Mardiani)
 
Kulirik jam tangan yang melingkar dipergelangan tanganku. Berdecak sebal seraya menghentakkan kakiku. Tangan kananku masih setia memegangi koper hitam yang cukup besar. Si empu rumah ini tak kunjung membukakan pintu berplitur putih tersebut.
“Assalamualaikum tante, Helen datang” kuketuk kembali pintu berplitur putih tersebut. Aku masih menunggu seseorang membukakan pintu. Panas, Cuaca hari ini memang tak bersahabat. Sangat panas. Bahkan peluhku sudah mengumpul dipelipisku. Mungkin karena matahari sangat bersemangat memancarkan sinarnya. Sangat menyengat.
-Ceklek-
Kualihkan pandanganku saat pintu berplitur putih itu terbuka. Terlihat seorang wanita paruh baya berdiri dihadapanku. Memberikan senyuman tipis yang terukir diwajah yang sudah nampak keriput tersebut.
“Helen, masuk dulu Nak. Sudah lama menunggu ya” kutunjukkan wajah bosan menunggu. Menarik koper hitamku memasuki rumah tersebut. Duduk diruang tamu yang tidak terlalu besar. Tante Amy kembali saat selesai dari dapur seraya menyuguhkan orange juice dan beberapa cemilan. Kuminum orange juice tersebut karena tenggorokanku memang sangat kering. Tante Amy menungguku seraya berbincang-bincang seputar diriku.
“Tante, aku mau istirahat dulu. Helen capek menempuh perjalanan dari Jakarta ke Surabaya” tante Amy mengangguk dan menunjukkan letak kamarku yang akan kutinggali selama 2 minggu ini. Kutarik kembali koper hitamku menuju kamar yang sudah ditunjuk. Paling tidak dalam 2 minggu ini aku harus berlibur ditempat ini.

****

Kubuka perlahan mataku saat 2 jam lalu mata lelahku terpejam. Merenggangkan otot-otot tanganku yang masih kaku. Lalu berjalan menuju kamar mandi. Membasuh tubuhku yang lengket karena keringat.
Kuusap rambutku yang masih basah dengan handukku sehabis membersihkan diri. Bercermin dimeja rias, melihat pantulan wajahku yang sangat bersemangat untuk menjalani aktivitas pada malam ini. Menyisir rambut yang sudah dibersihkan dengan shampoo. Selesai itu, kulangkahkan kakiku menuju ruang makan. Cacing-cacing yang ada diperutku sudah demo sedari tadi. Membuatku tak bisa konsen pada aktivitasku.
“Malam tante” tante Amy tersenyum melihatku duduk di salah satu kursi makan. Kutatap masakan diatas meja, sepertinya sangat nikmat membuatku menelan ludah.
“Kamu Helen?” kualihkan pandanganku mencari tahu siapa yang memanggilku. Seorang pemuda berdiri disisi kanan ruang makan. Siapa dia? Apa dia Rio? Sepupu kecilku dulu yang menyukaiku. Dia tumbuh besar, sangat tampan sekali.
“Ya. Kau Rio kan? Sepupu kecilku dulu” kubalik piring putih yang ada dihadapanku. Mengambil nasi secukupnya dan lauk pauk seadanya. Rio duduk dihadapanku, ikut mengambil makanan. Aku sangat rindu dengan suasana ini. Dimana aku masih berumur 6 tahun dan disuapi tante Amy.

****

Kupandangi langit berwarna hitam diatas sana. Kedua tanganku kulipat dan kusandarkan pada pegangan jendela kamar ini. Angin malam mulai menerpa tulang-tulangku. Aku tersenyum melihat cahaya bulan dan bintang bersua. Bulan seperti induk dari bintang-bintang yang ada dilangit sana. Kutolehkan wajahku menatap seorang pemuda yang memasuki kamarku selesai ia mengetuk pintu.
“Ada apa, yo? Ada yang mau kau bicarakan?” Rio menggeleng pelan. Ia sudah berdiri tegap pada samping kananku. Ikut menghirup udara malam yang terasa dingin.
“Tidak, aku hanya rindu denganmu. Sudah berapa lama kita tidak bertemu? Terakhir kita bertemu, waktu kita masih kelas 2 SD. Kau masih ingat?” Rio mengalihkan pandangannya menatap wajahku. Aku mengangguk kecil pertanda ingat kejadian itu. Kejadian dimana aku harus kembali pulang ke kota asalku, Jakarta. Menyedihkan sekali jika diingat. Aku masih ingat, dimana Rio menangis karena kutinggal. Namun, disini masih ada sahabatku juga, Ara. Hei, bagaimana kabar dia sekarang? Oh, aku sangat rindu juga padanya.
“Oh iya, yo. Ara kemana? Aku lupa menanyakannya. Dia masih tinggal disini, kan?” semangat sekali aku menanyakan dia. Apa dia masih seperti dulu, sangat lucu dan baik hati padaku? Atau, dia sudah berbeda dari perkiraanku? Entahlah. Rio seperti berpikir sejenak. Entah apa yang dipikirkannya. Hanya saja, raut wajahnya bisa diartikan kecewa. Ada apa sebenarnya?
“Dia masih tinggal disini kok. Hanya saja …. Apa kau ingat kejadian dahulu? Ia suka juga denganku. 3 hari yang lalu, entah kenapa sifatnya dingin denganku. Tak pernah menyapaku kembali dan bila bertemu denganku, ia hanya diam. Entahlah, aku juga bingung. Padahal sepertinya aku tak punya salah padanya” kukerutkan dahiku. Mengapa Ara seperti itu? Tak mungkin sikapnya berubah jika tak ada hal lain. Aku sangat kenal dengannya. Ya, walau sudah lama tak bertemu. Akupun belum tahu bagaimana wajahnya sekarang, wajah yang dahulu sangat lugu dimataku. Pasti ia sangat cantik.

****

“Itu Ara, bagaimana menurutmu?” Rio menunjuk kecil seorang gadis diseberang sana. Ara … cantik sekali dia. Tapi, mengapa wajahnya murung? Kutatap wajah Rio, ia hanya menangkat kedua bahunya pertanda tak tahu.
“Dia sangat cantik” aku bergumam kecil. Kulangkahkan kakiku berjalan mendekati Ara yang sudah beranjak pergi dari gerbang rumahnya. Sepertinya ia ingin pergi ke tempat lain. Terbukti karena dia membawa tas selempang berwarna coklat yang ia kalungkan dileher. Rambut yang tergerai indah, T-shirt biru yang bermotif cantik, dan juga rok selutut berwarna merah muda cerah. It’s so feminim.
“Araaaaa” kuteriakkan nama panggilannya. Langkahnya berhenti dan sedikit berbalik. Mendapati diriku yang melontarkan senyuman tipis padanya. Sepertinya ia sedikit bingung, terbukti kedua alisnya bertautan. Aish~wajahnya sangat lucu jika seperti itu.
“Kau, siapa?” ia mencoba bertanya. Apa dia tak mengenal wajahku? Ah, tapi kemarin tante Amy berkata jika wajahku berbeda dengan masa kecilku.
“Aku sahabat kecilmu, Helen” sepertinya ia nampak berpikir. Mengetuk jarinya pada dagunya berulang-ulang. Detik kemudian, ia tersenyum padaku. Alhamdulillah, ia masih ingat padaku.
“Helen, aku rindu padamu” Ara memeluk tubuh rampingku. Rindu dengan sahabat kecilnya yang sangat mendadak pulang ke Jakarta.

****

“Rio bilang, kau menjauhinya. Apa itu benar, Ra?” Ara menundukkan kepalanya. Bermain kecil dengan jari-jari lentiknya. Duduk pada kursi panjang putih tak jauh dari taman ini, tempat yang sangat bagus untuk bersantai-santai.
“Kau tahu kan, Len. Dari dahulu aku suka dengannya. Namun apa? Rio hanya menganggapku sebagai sahabat. Sudahlah, tak usah dibahas kembali. Teman sekolahku bilang, aku harus melupakan rasa itu. Dia hanya sahabatku, no more” Ara menyunggingkan senyuman tipisnya. Aku jadi iba dengannya. Apa sebegitu sukanya ia kepada Rio, sampai-sampai sekarang ini dia masih menyukai pemuda itu? Sangat setia.
“Kau sendiri, apa kau masih menyukai Rio? Ayo ngaku Len” hei, mengapa Ara tahu jika dulu aku suka dengan Rio? Aduh, kuyakin kedua pipiku seperti tomat sekarang ini.
“Itu hanya masa lalu, Ra. Apa kau tahu, aku sedang dekat dengan pemuda disekolahku. Kapan-kapan kulihatkan dirinya”
“Begitu teganya tak menghargaiku disini, kalian hanya mengobrol berdua. Sedangkan aku hanya berdiam diri disini” refleks aku serta Ara mengalihkan pandangan menatap pemuda yang melipat kedua tangannya bersandar dibawah pohon rindang.
Kejadian masa lalu terulang kembali. Kini kita bisa berkumpul bersama. Bercerita-cerita seputar kehidupan masing-masing, bercanda tawa dengan gurauan seorang pemuda ini. Tak ada rahasia diantara kita. Semuanya terbeberkan dengan pelan-pelan.

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *