sumber gambar:
http://4.bp.blogspot.com/
=================================================================
Peluncuran novel ke-10 ini sukses! Ratusan pengunjung berjubel di toko buku terbesar se-Indonesia itu demi mendapat diskon novel tersebut serta tanda tangan dari penulisnya langsung. Di luar dugaan, pengunjung toko buku tak juga berhenti barang sejenak saja. Semakin siang, semakin ramai.
Setelah kurang lebih lima jam, akhirnya ajang promosi novel ke-10 nya selesai. Tangannya bisa merasakan kelegaan. Jemarinya sudah pegal mengukir tanda tangan di halaman pertama novelnya. Tak jarang bahkan ada pengunjung yang meminta tanda tangan di kaus atau di buku harian yang sengaja mereka bawa.
Gadis berambut ikal itu membenarkan posisi duduknya dengan agak bersandar ke sandaran kursi. Sesekali ia melakukan stretching ringan pada tangannya.
Nona Kia sudah menjadi penulis terkenal.
Suara itu. Panji, desainer di penerbitan tempat di mana Kia mengabdikan diri lewat tulisan.
Gadis itu hanya menyunggingkan senyum tipis sambil merapikan mejanya. Dari raut wajahnya tampak gurat-gurat lelah. Belum lagi lingkaran di bawah matanya. Sangat menunjukkan bahwa dia butuh istirahat.
Kamu perlu refreshing, Kia. Lihat, nih, mata kamu kayak panda.
Lelaki gondrong yang selalu mengikat rambutnya itu menggoda Kia. Ia membuka fitur kamera depan ponsel pintarnya. Lalu mengarahkannya ke hadapan gadis itu. Kia hanya malu-malu sembari mengernyitkan mata. Menyadari bahwa matanya memang seperti mata panda.
Panji! Kia menutup layar ponsel sahabatnya itu. Ia memberengut manja.
Istirahatlah, kamu sudah lelah berlomba dengan deadline.
Sejak Kia masih duduk di bangku kuliah, ia sudah mulai meniti karirnya dengan menulis buku solo. Walaupun awalnya ia menerbitkan secara self-publishing, bukan berarti ia tidak bisa sukses. Mulanya Kia hanya dikenal sebagai mahasiswi pintar tapi pasif. Namun, karena ia menerbitkan buku secara indie, gadis itu mendadak bertransformasi menjadi seorang yang energik. Ia selalu menyelipkan promosi bukunya lewat percakapan dengan teman-temannya hingga ia dijuluki Miss Buku. Ia juga gencar mengikuti kegiatan organisasi di kampusnya demi kelancaran pemasaran buku-bukunya. Usahanya berbuah manis. Selain dikenal se-antero kampus, bukunya laku keras. Royalti pun lancar mengalir ke kantongnya. Ia menamatkan kuliah dengan keringatnya lewat menulis buku.
Tak puas hanya itu, Kia menulis lagi. Saat itu, Kia mencoba peruntungan dengan mengajukan naskah ke penerbit mayor. Dan ternyata dewi fortuna sedang berpihak padanya! Penerbit mayor menerima naskahnya dengan tangan terbuka. Berkat kepiawannya mengolah tema, membuat cerita yang memotivasi banyak orang, serta gencarnya promosi melalui sosial media, penjualan bukunya pun boleh dibilang fantastis, dibuktikan dengan bukunya tidak hanya sekali atau dua kali cetak. Melainkan sampai cetakan ke-tujuh. Karena itulah ia kembali diundang menulis oleh penerbit. Hingga kini, siapa yang tak kenal dengan sosok Kiana Adisty?
Kiana membalikkan badan ke arah Panji. Panji masih di situ, di belakangnya.
Panji, buatku menulis bukan hanya sebuah pekerjaan, menulis adalah sebuah pencarian jawaban dari masalahku. Menulis juga refreshing bagiku. Melihat wajah-wajah yang bahagia karena membaca karyaku, di situlah letak kepuasan sebuah peristirahatan.
Panji hanya tertawa kecil mendengar celoteh sahabat dari SMAnya itu. Diam-diam ia mengagumi kegigihan seorang Kiana.
Well, baiklah Miss Penulis, mari temani aku beristirahat sambil minum teh. Aku yang traktir. Panji menarik lengan Kia.
Tapi belum juga Kia meneruskan kalimatnya, Panji sudah mengajaknya berjalan terburu-buru. Tak menghiraukan penolakan Kiana.
*****
Kenapa kita enggak ke kedai kopi kayak biasa sih?
Karena aku gak ingin kamu menyembunyikan kantuk lewat secangkir kopi. goda Panji.
Desainer puitis! ejek Kia.
Teh itu menenangkan. Aromanya, rasanya. Kangen kebun teh. Kangen masa kecil. Matanya menerawang teduh ke wajah gadis yang tengah menikmati tehnya.
Kangen pulang sambung Panji.
Mata Kiana yang tadinya menyipit karena tengah menghirup aroma teh, kini menajam. Cangkir teh yang tadi diraihnya, ditaruh kembali dengan agak kasar ke atas meja.
Panji sudah tidak asing melihat sikap Kiana yang sensitif tiap kali ia membahas tentang pulang. Panji tahu, Kiana adalah sosok yang teguh berpendirian. Ia belum bisa mengubah keputusan Kiana untuk segera pulang ke kampung halamannya.
Kiana kehilangan selera minum tehnya. Haus yang ia rasakan hilang entah ke mana. Yang ia inginkan adalah pergi dari hadapan Panji, tanpa berdebat lagi.
Panji menghela nafas panjang. Ia mengumpulkan kosa kata untuk memecah kebisuan. Lelaki itu tidak ingin membuat Kiana marah, atau bahkan membuat persahabatannya renggang karena pertengkaran kecil.
Kiana.
Hmm.
Kiana mengarahkan pandangannya ke jendela. Memperhatikan rintik hujan yang membuat jendela lebih tebal dari biasanya. Jari-jari lentiknya mengetuk-ngetuk meja pelan-pelan.
Apa kamu tidak rindu pulang? Rindu rumah? Rindu Ibu? suara Panji terdengar hati-hati.
Gadis itu menghentikan ketukan jemarinya di meja. Pandangannya belum beranjak dari jendela. Ia masih enggan melihat wajah Panji.
Hening mencuat lagi. Yang bertanya menunggu jawaban. Yang ditanya tak kunjung memberi jawaban.
Bagi Kiana, Panji tidak mengerti apa yang ia rasakan. Tentang rasa perih, rasa terbuang, rasa tersisihkan. Pikirannya mengawang pada peristiwa lima tahun lalu.
Masih berjangkar kenangan menyakitkan itu di kepalanya.
Lima tahun lalu. Saat itu tepat pada pengumuman kelulusan SMAnya. Wajahnya tampak berbinar meski wanita paruh baya yang ia sebut ibu tidak berada di sisinya. Bagaimana tidak, Kia sudah mati-matian mengejar prestasi demi menjadi lulusan terbaik satu angkatan, juga demi menikmati fasilitas sekolah gratis untuk siswa yang berhasil meraih juara umum. Usahanya tidak sia-sia. Dia berhasil menyabet predikat lulusan terbaik. Tak hanya itu, ia juga berhasil tembus PTN tanpa tes dengan jurusan sastra seperti yang ia impikan. Ia kembali ke rumah dengan rona bahagia.
Rona bahagia itu ternyata tak bertahan lama. Ia menyaksikan rumahnya dikepung bodyguard lintah darat. Kiana ketakutan. Ia bersembunyi di pohon jambu besar di depan rumahnya. Ayah tirinya babak belur dalam keadaan mabuk. Uang-uang simpanan ibunya dirampas habis tanpa ampun.
Puas menjarah keluarga Kiana, lintah darat itu berlalu. Kiana yang ketakutan, menghampiri ibunya ke dalam rumah. Tubuhnya bergetar. Matanya terasa panas. Bulir-bulir kepahitan satu persatu membasahi pipinya.
Ibu. Gadis itu menghambur ke pelukan ibunya yang meringkih.
Ibu, kita pergi saja dari sini. Tinggalkan suami ibu. Dia yang buat kita terlilit hutang.
Ibu memandangi wajah anak tunggalnya.
Kita mau tinggal di mana? Mau makan apa? Satu-satunya yang tersisa cuma kebun teh yang tak sampai seperempat hektar.
Tak puas dengan jawaban ibunya, Kia menjawab dengan penuh keyakinan.
Kia bisa menulis bu. Ibu tahu kan selama sekolah Kiana dapat uang jajan dari mengirimkan tulisan? Ibu tahu? Kiana tembus universitas negeri di Jakarta jurusan sastra seperti yang Kia inginkan. Kia juga berhasil dapat beasiswa sampai wisuda. Gak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Gadis itu menatap dalam ke bola mata ibunya.
Ibu menarik nafas dalam.
Kia, maafkan Ibu. Bukan Ibu tidak ingin kamu sekolah tinggi. Tapi, sekarang Ibu ingin kamu mengurus kebun teh kita. Bekerja di sini. Setelah hutang ayah lunas, barulah kamu pergi ke Jakarta. Kejar mimpi-mimpi kamu.
Kiana menatap tak percaya. Apa yang sesungguhnya ada di pikiran Ibu? Mengapa wanita itu tidak yakin akan kesungguhan putri tunggalnya?
Tapi, Bu
Halah. Dasar belagu mau kuliah segala! Urus tuh kebun teh kita.
Tiba-tiba Ayah tirinya menghampiri Kiana. Masih dalam keadaan mabuk sambil mendorong kasar bahu Tiana. Ibu tidak tinggal diam. Ia memeluk kembali putrinya.
Sekarang Ibu pilih ikut aku ke Jakarta atau bertahan di sini dengan Ayah? Kiana tidak ingin berbelit lagi. Ia langsung pada pertanyaan inti. Gadis itu sudah cukup lelah mendekam di rumah itu.
Nak, kalau kita ke Jakarta mau makan apa? mata Ibu berkaca-kaca.
Ibu meragukan aku? Aku bisa menulis. Aku bisa cari uang lewat menulis.
Modal nulis gak akan bisa kaya kamu Ayah menimpali dengan nada mengejek.
Kiana bangkit dari rangkulan ibunya. Ia berdiri dan perlahan mengumpulkan tekad.
Oke. Kiana akan tetap pergi.
Ia bersumpah tidak akan menangis lagi untuk hidupnya. Ia hanya perlu lebih kuat, mengumpulkan nyali setangguh baja, dan mempersiapkan diri menjadi seorang penulis hebat. Gadis itu berlalu menuju kamarnya. Mengambil koper dan membawa baju seadanya. Dengan sisa uang dari honor menulisnya yang tinggal sedikit, tak menyurutkan langkahnya untuk memperbaiki nasib.
Kia mengabaikan ibu yang menahannya pergi. Ia merasa ibu tidak memercayainya, tidak menghargai kesungguhan niatnya. Dan meskipun ia sendiri, ia tak akan mengurungkan niat untuk pergi. Tapi, ia tidak benar-benar sendiri. Diam-diam, Panji, sahabat karibnya di SMA, mengikuti jejaknya, kuliah di Jakarta.
Kiana. Suara Panji memanggil jiwa Kia kembali ke masa kini.
Gadis itu terkesiap. Perih itu makin menggerogoti ulu hati. Perih itu, entah rindu, entah ambisi atau dendam yang menggebu.
Panji, hidupku di sini. Jakarta sudah membesarkan namaku. Aku sudah bisa mengumpulkan uang lewat menulis.
Panji masih menatap lembut Kiana. Mencari-cari sisi kelembutan hati gadis itu. Jauh di lubuk hatinya, ia percaya Kiana bukanlah sosok yang keras kepala. Masih tersisa puing-puing cinta juga rindu untuk ibu, wanita yang sudah membesarkan Kiana. Ya, Panji percaya itu,
Lantas untuk apa aku pulang? Aku sudah titip uang buat Ibu lewat kamu. Kewajibanku selalu kutuntaskan. Bahkan sejak awal kepindahanku di Jakarta. sambung Kiana.
Panji masih terdiam. Ia membiarkan gadis itu meneruskan segala kekatanya.
Hidup itu mesti dinamis, Panji. Bergerak seperti ombak, berani menantang karang yang menantang. Kamu sudah membaca petikan kalimat itu di novelku, kan? Lihat, aku sudah berani menantang nasib, menaikkan taraf hidupku, mengumpulkan uang. Aku sudah berhasil membuktikan pada semua orang, dengan menulis aku bisa sejahtera dan menyejahterakan. Kiana tidak mau kalah, ia meluapkan semua emosinya kepada Panji.
Kiana, kamu bilang menulis bukan cuma sebuah pekerjaan. Itu artinya menulis bukan cuma untuk uang.
Kali ini Kia menatap tajam mata Panji.
Tentu aku sudah membaca novelmu. Hidup itu mesti dinamis. Bergerak seperti ombak, berani menantang karang yang menantang. Tapi, kamu lupa satu hal, Kia. Ombak tak pernah lupa ke mana ia harus pulang.
Panji beranjak dari kursinya. Ia memutuskan untuk pergi sejenak. Membiarkan sahabatnya berpikir, merenung. Lelaki itu berharap masih tersisa kelembutan di hati Kiana.
Perasaan Kia campur aduk. Ia mengepalkan jarinya kuat-kuat. Gadis itu memejamkan mata. Bodohkah ia? Ternyata novelnya belum selesai. Ombak itu memang bergerak. Dinamis, tak pernah takut menghalau karang, tapi ia benar-benar lupa satu hal. Ombak tidak pernah lupa ke mana harus pulang. Ombak selalu pulang ke pantai.
Gadis berambut ikal itu mengendurkan kepalan jemarinya. Kini ia menutup wajahnya dengan tangannya. Tuhan! Perasaan apa ini? Mendadak wajah sang ibu mengelebat dalam pejaman matanya. Suaranya. Suara wanita paruh baya yang ringkih itu mengiang di telinga. Suara ketika ibu menahannya pergi ke Jakarta.
Bayangan masa lalu tentang betapa cintanya sang ibu kepada Kiana kini tergambar jelas. Ibu menahannya bukan karena meragukan Kiana. Wanita itu hanya ingin mewariskan harta satu-satunya kepada putri tunggalnya, kebun teh. Tapi, tanggapan Kia berbeda. Ambisi sudah mendobrak segala keraguannya. Ia mati-matian membuktikan kepada ibunya, ia bisa mencari uang lewat menulis. Namun, setelah itu terbuktikan, gadis itu malah lupa ke mana ia harus pulang. Memaksa lupa akan ibunya. Akan masa lalunya, juga rumahnya.
Hatinya mencelos. Ada sesuatu yang hangat mengalir di kalbu gadis mungil itu. Kia tidak ingin memungkiri lagi. Sekarang ia tahu perasaan apa itu. Rindu. Tak salah lagi. Ia rindu ibu.
Kia beranjak dari tempat duduknya. Tak peduli wajahnya dan rambutnya acak-acakkan. Yang ia mau kini cuma mengejar Panji. Meminta lelaki itu menemaninya pulang ke rumah ibunya. Berterima kasih kepada Panji karena telah meneruskan novelnya yang ternyata belum selesai.
Setelah membayar ke kasir, ia segera bergegas membuka pintu kaca. Tak mempedulikan gerimis yang masih berderai. Ia berlari menuju parkiran, berharap Panji masih di sana.
Deretan mobil ia lewati. Satu, dua, tiga
Panji masih di sana! Lelaki itu sedang akan masuk ke dalam mobilnya.
Panji.
Panji menoleh. Lelaki itu menatap tak percaya, Kia mengejarnya.
Panji, kamu benar. Ombak selalu tahu ke mana harus pulang. Aku ini penulis yang lupa, menasihati orang tapi lupa menasihati diri lewat tulisanku sendiri. suara Kia melembut. Mata sipitnya berkaca.
Panji mendekat. Ia menatap lembut sahabatnya.
Aku mau pulang, Panji. Aku mau menghadiahkan karya-karyaku untuk Ibu. Bukan cuma uang. Ibu harus mendapat cintaku lewat karya-karyaku.
Aku mau pulang, Panji. sambungnya.
Panji mengerlingkan senyumnya. Kelegaan kini menyelimuti kalbunya. Ia sungguh percaya, Kiana masih punya sisi lembut, masih punya cinta dan rindu untuk ibunya. Ia juga mengakui Kiana adalah seorang penulis hebat, mampu menghipnotis banyak orang. Hanya saja gadis itu lupa menerapi diri sendiri. Namun, kini gadis itu berhasil mencairkan hatinya lewat tulisannya sendiri. Panji sungguh bersyukur. Tugasnya selesai, mengantarkan Kiana pulang ke pelukan ibundanya.
Ibu, aku mau pulang. Ke pelukanmu yang paling aman.
Ibu, kini aku mengerti tulisanku sendiri. Hidup memang mesti dinamis, seperti ombak. Tapi tak hanya itu, aku tidak boleh lupa akan rumah untuk pulang. Aku tidak boleh melupakan orang-orang yang mencintaiku setelah mimpi-mimpiku tergapai. Aku tidak boleh bersembunyi dari masa lalu. Meski itu kelam. Sebab jika tidak ada masa lalu tidak akan ada masa kini. Dan jika tanpa engkau, ibu, aku tidak akan pernah sampai di titik ini, tidak akan berambisi menantang kejamnya dunia juga menjadi sosok yang lebih baik dari sebelumnya.
Ibu, aku ingin pulang…