Penerbitan Mayor Vs Penerbitan Indie, Lebih Baik Mana?

Ditulis Oleh: Saleha Juliandi
Seperti kita tahu, bahwa buku secara umum kita kenal sebagai kertas-kertas yang berisi tulisan dan dijilid menjadi satu dengan cover yang menarik. Walaupun kini sudah muncul buku versi digital (e-book), namun kehadiran buku cetak (buku yang dicetak di atas kertas) masih menjadi pilihan bagi mayoritas masyarakat di Indonesia.
Dahulu, dunia penerbitan hanya mengenal Mesin Cetak Offset untuk mencetak buku-buku. Karena biaya operasional mesin ini cukup mahal, sehingga oplah minimal cetak ditetapkan sangat besar, yaitu sekitar 2.000-3.000 eksemplar untuk sekali running mesin, untuk menutupi biaya operasional yang tinggi tersebut. Selain oplah yang besar, masalah lain muncul. Buku yang sudah dicetak dengan oplah besar tersebut seringkali tidak habis terjual di pasar dan akhirnya penerbit mengalami kerugian.
Mesin Offset ini digunakan oleh Penerbit Mayor untuk mencetak buku-bukunya yang kemudian didistribusikan ke toko-toko. Oleh karena itu, penerbit-penerbit mayor menyeleksi terlebih dahulu naskah-naskah yang masuk. Hanya naskah-naskah yang diprediksi laku saja, yang akan diterima dan kemudian diterbitkan secara mayor. Alasan utamanya tentu agar penerbit tidak merugi. Walaupun demikian, banyak juga buku-buku mayor yang tidak laku di pasar walaupun sudah melewati serangkaian seleksi oleh editor.
Berkembangnya teknologi, kini dunia perbukuan telah memiliki Mesin Cetak Digital. Biaya operasional mesin ini cukup murah, sehingga mampu mencetak walau hanya 1 eksemplar buku. Lahirnya mesin ini, kemudian mendorong lahirnya Penerbitan Indie. Melalui penerbitan indie, buku bisa dicetak  berapapun jumlahnya, sesuai permintaan pasar. Kalau permintaan hanya 1, ya hanya dicetak 1 eksemplar. Kalau permintaan 100, ya bisa dicetak 100 eksemplar, dan seterusnya. Sehingga, resiko kerugian pun sangat kecil karena tidak ada buku yang tersisa akibat tidak terjual. Hadirnya penerbitan indie juga menjadi angin segar bagi masyarakat. Masyakarat lebih mudah menuangkan ide pikirannya ke dalam buku tanpa adanya kungkungan idealisme dari pihak penerbit.
Lalu, lebih baik mana? Penerbitan Mayor atau Penerbitan Indie?
Jawabannya adalah relatif, tergantung pada tujuan setiap penulisnya. Ini saya coba ulas satu per satu:
Penerbitan mayor
Apabila tujuan yang dicari adalah prestige, maka penerbitan mayor pilihannya. Karena buku kalian akan dipajang di rak-rak toko buku di seluruh Indonesia. Keren dan membanggakan tentunya.
Jika kalian tipe orang yang tidak punya passion dalam marketing (promosi), penerbit mayor juga bisa kalian pilih. Sesial-sialnya, kalaupun akhirnya buku kalian tidak laku karena kalian ogah promosi, at least kalian sudah mendapatkanprestige. Minimal bisa mejeng bersama buku kalian di rak toko dan meng-uploadnya di sosmed :). Walaupun mungkin buku kalian hanya bertahan selama 1 minggu di rak tersebut karena harus digeser ke gudang toko.
Jadi, salah satu keuntungan menerbitkan buku melalui penerbitan mayor adalah penjualan buku kalian terbantu oleh sistem distribusi ke toko-toko. Namun, sekali lagi bukan berarti buku yang terdistribusi ke toko-toko dijamin sukses penjualannya. Obrolan saya dengan salah satu editor penerbit rekan kami, bahkan ada loh penulis buku mayor yang tidak menerima sisa royalti akibat bukunya tidak laku terjual. Seperti tadi yang saya katakan, bahwa buku yang peminatnya kurang, akan segera dipindahkan ke gudang. Mungkin kalian belum tahu, bahwa lebih dari 200 judul buku baru masuk ke toko setiap minggunya! Jadi, bisa kalian bayangkan bagaimana ketat persaingan para penulis di toko. Sehingga, toko pun sangat selektif dalam memilih buku-buku yang akan dipajang di rak toko. Buku yang kurang laku, akan segera dipindahkan ke gudang dan diretur ke penerbit.
Kerugian penerbitan ini adalah royalti penulis relatif kecil, yaitu sekitar 8 12%. Ya, hal ini wajar sekali. Karena penerbit harus mendanai biaya cetak buku dengan oplah ribuan, mendanai distribusi buku ke toko-toko secara nasional, hingga membayar gaji para karyawan yang terlibat dalam penerbitan buku tersebut.
Penerbitan Indie
Nah, setelah penerbitan mayor, sekarang kita bicara tentang penerbitan indie. Kalau tujuan kalian sama sekali bukan untuk mencari prestige, maka penerbit indie bisa dijadikan pilihan. Misalnya, bagi dosen/guru yang ingin menaikkan KUM-nya. Menerbitkan buku bisa menjadi salah satu cara karena memiliki poin besar dalam kenaikan pangkat. Sehingga, dosen/guru tidak perlu susah-susah menerbitkan melalui penerbitan mayor karena biasanya akan memakan waktu yang cukup lama. Sementara, jenis penerbitan tidak menjadi syarat dalam kenaikan kum tersebut. Asalkan penerbit bisa mengeluarkan ISBN yang tercatat di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI), sudah sah dan bisa diajukan sebagai berkas kenaikan pangkat.
Selain untuk alasan kenaikan pangkat, bagi penulis yang menginginkan royalti yang lebih besar juga dapat memilih penerbitan indie. Melalui jalur penerbitan ini, semakin banyak buku dicetak, maka semakin besar royalti/keuntungan yang diterima oleh penulis. Tapi, tentu kalian harus cermat dan teliti dalam memilih penerbitan indie. Tanyakan pembagian royaltinya secara detil. Karena banyak penerbit indie yang kurang terbuka mengenai masalah ini. Bahkan, banyak bermunculan penerbit-penerbit indie gadungan akhir-akhir ini.
Karena buku terbitan indie tidak di-display di rak-rak toko, penulis buku indie harus memiliki upaya marketing dan promosi yang maksimal. Baik secara online maupun melalui komunitas yang kalian miliki. Jadi, jika kalian memiliki komunitas besar, akan sangat membantu dalam penjualan buku indie kalian. Jika kalian tidak punya semua hal tersebut, ya kalian tidak akan mendapatkan apa-apa, kecuali kepuasan telah menghasilkan karya itu sendiri.
Jadi, apabila kalian punya naskah keren, punya passion kuat dalam marketing/promosi, jago menjual di sosmed/blog, dan kalian punya komunitas besar, penerbit indie sangat cocok dan bisa sangat menguntungkan dari segi materi. Karena keuntungan penjualan buku tidak dibagi untuk toko, distributor, ataupun pihak-pihak lainnya. Penjualan buku terbitan indie walau tidak didistribusikan ke toko juga bisa tinggi, loh.. jika kalian memiliki beberapa aspek yang saya sebutkan di atas. Buku Pendidikan Anak Ala Jepang yang kami terbitkan bisa menjadi contohnya. Buku tersebut awalnya kami terbitkan secara indie. Selama penerbitan indie, buku tersebut mampu terjual lebih dari 2.000 eksemplar, mengalahkan penjualan di toko meskipun dalam rentang waktu yang sama.
Selain tujuan-tujuan di atas, terdapat juga tujuan lain beberapa penulis memilih penerbitan indie misalnya karena ingin belajar, ingin menerbitkan buku dengan idealisme tertentu tanpa adanya campur tangan pihak editor, dan lain-lain.
Nah, itulah beberapa hal mengenai penerbitan mayor dan indie. Baik penerbitan mayor maupun indie memiliki kelebihan maupun kekurangan. Kenali diri, tentukan tujuan, dan pilihlah jalur penerbitan yang sesuai dengan diri dan tujuan kalian masing-masing.
 

Spread the love

One thought on “Penerbitan Mayor Vs Penerbitan Indie, Lebih Baik Mana?

Comments are closed.