Oleh: Saleha Juliandi
Dulu waktu akan pulang ke Indonesia, hampir semua barang/perabotan rumah kami berikan ke tetangga. Karena memang tidak mungkin dibawa ke Indonesia. Biaya kirimnya kurang lebih sama jika beli baru di Indonesia hehe.. Lagipula packing-nya ribet. Suami saya orangnya suka yang simpel, gak mau repot. Udah, kasih aja semua ke Brother Koseem, begitu katanya. Brother Koseem adalah tetangga kami dari Thailand. Kebetulan mereka belum lama tinggal di Jepang dan masih memerlukan banyak sekali perlengkapan rumah.
Dari sepedanya anak-anak (ada 2 sepeda), treadmill untuk olah raga, hiasan-hiasan rumah yang cantiiikk, piring-piring model Jepang, pengering pakaian, mesin cuci pakaian, mesin cuci piring, lemari2 pakaian, kulkas, tempat tidur, spring bed, meja, sofa, dll. Sebagian besar dari barang2 itu adalah barang kesayangan saya. Hehe… agak sedih juga karena tidak bisa membawanya pulang. Dan belum semua barang-barang itu sudah bisa kami miliki lagi sekarang (harus nabung lagi, hehe..). Terlebih lagi, nilai histori dari barang-barang tersebut tidak dapat tergantikan oleh materi apapun di dunia ini.
Yaa itulah yg namanya rejeki. Walaupun sudah kami miliki, kalau bukan lagi menjadi rejeki kami, akhirnya tetap saja harus rela kami lepaskan.
Dari kejadian itu, saya sedikit mendapatkan gambaran perasaan ketika mati. Bagaimana kita harus melepaskan SELURUH milik kita yang kita sayangi. Rela, tidak rela. Mau, tidak mau. Siap, tidak siap.

Spread the love